Hari ini aku berjalan diiringi awan yang
senantiasa melindungi ku dari sengatan terik matahari. Aku kembali menginjakkan kaki ku di jalan
setapak ini setelah 2 tahun silam, langkah
ku terhenti tepat di bawah pohon Mahoni yang
rimbun di bawahnya terdapat sebuah bangku tua yang terbuat dari kayu, warnanya
sudah berubah menjadi hijau kehitam-hitaman karena lumut dan lapuk termakan
usia. Sejenak aku terdiam memandangi bangku itu dengan tatapan nanar.
“Selama itukah aku pergi dari dukuh ini?
Hingga bangku yang dulu gagah kini terlihat sangat tua dan tak terawat,
ternyata waktu memang cepat berlalu...” gumam ku dalam hati.
Ku hampiri bangku tua itu dan duduk di
atasnya, begitu nyaman duduk di bangku ini teduh dan jika memandang lurus
kedepan maka akan terlihat berhektar-hektar sawah yang membentang dan beberapa
rumah penduduk yang tinggal di dukuh terpencil ini.
Aku ingat sekali, tempat ini adalah
tempat yang sering aku datangi bersama dia, sekilas aku teringat kembali pada
pemuda itu, di bangku ini dulu kita bermain dan beristirahat karena lelah
bermain atau hanya sekedar untuk berteduh dari panas matahari, di tempat ini
pula aku menyadari benih-benih cinta kami mulai tumbuh dan di bangku ini pula
aku menangis di pundaknya.
Ku
pejamkan mataku dan menghirup wanginya masa lalu ku...
“Dulu bapak meninggalkan ku dan ibu
tanpa alasan yang jelas sampai sekarang aku pun tak tau dia kemana, dimana dan
bersama siapa. Ibu bilang bapak minggat
karena tak kuat hidup miskin seperti ini. Aku rela jika itu memang alasan bapak
meninggalkan kami, beberapa bulan semenjak bapak pergi ibu juga berpulang ke Rahmatullah aku ikhlas karena itu sudah
menjadi kehendak Gusti Allah,
sekarang orang yang paling aku kasihi juga ikut meninggalkan ku. Pergi kekota
untuk menikah dengan anak seorang juragan kaya di kota” kata ku setengah
melamun, pemuda yang disampingku hanya duduk dan menunduk lemas.
“hari ini aku mengerti bahwa kebaikan
tak pernah berpihak pada ku dan kehidupan ku” bulir-bulir bening mulai menetes,
bibir ku bergetar “kenapa? Apa yang salah pada diri ku?! Apa?” tangisku pun
pecah “ kenapa semua orang yang aku cintai pergi dari kehidupan ku? Kenapa?
Keluarga ku hancur dan sekarang cintaku pun ikut hancur berkeping-keping, Apa
salah ku Gusti?! Apa?” aku benamkan wajahku pada kedua telapak
tangan ku aku tak tahu lagi siapa yang harus aku salahkan, tiba-tiba sentuhan
tenang dan halus hinggap di bahuku.
“Ning, kamu tidak boleh berbicara
seperti itu” kata pemuda itu tenang
“seperti apa? Ha! Ini semua salah ku,
aku memang tak pantas untuk dicintai hinnga Tuhan mengambil semua yang aku
sayangi” kata ku meluap dalam emosi
“tidak Ning! tidak pantas kamu berkata
seperti itu, kamu juga tidak pantas menyalahkan dirimu sendiri seperti ini,
kamu harus ingat kalau kamu hanya seorang hamba
semua ini sudah menjadi kehendak Yang
Maha Berkuasa, Gusti Allah Ning, Gusti Allah” pemuda itu mulai
meninggikan nada suaranya dan melepaskan pegangannya dari bahu ku.
“Lalu apa yang harus aku lakukan
sekarang?” suaraku menjadi parau melebur dalam tangis ku.
“kamu harus tetap besabar Ning, doakan
yang terbaik buat mereka”
“Tak ada lagi orang yang mencintai ku,
tak ada,semuanya telah meninggalkan ku” emosiku mulai terkendali, pemuda itu
menghadap ke arahku dan menggenggam tangan ku, tulus sangat tulus aku merasakan
kenyamanan di genggamannya, di tatapnya mataku penuh dengan kehangatan.
“Kamu salah Ning, masih banyak orang
yang mencintai mu termasuk aku, Aku akan tetap disini bersamamu, aku tidak akan
pernah meninggalkan mu Ning, Aku berjanji
dan bangku ini menjadi saksi bisu ketulusan cintaku pada mu Ning, kamu
jangan pernah merasa kalau kamu sendirian di dunia ini masih ada aku dan dukuh
kecil ini, tanah kelahiran mu”
“Kamu
janji?”
“Ya,
aku berjanji” ku sandarkan kepala ku yang terasa berat di atas pundak pemuda
itu, pemuda yang telah mencuri hatiku di bawah pohon mahoni di atas bangku ini.
Perlahan ku buka mataku yang terasa
berat, airmata mulai menetes dan mengalir di setiap lekuk wajah ku.
Dimana dia sekarang?
Dimana dia yang dulu
telah berjanji untuk selalu bersamaku?
Aku merindukannya...
aku teramat merindukan pemuda itu
Aku beranjak dari bangku tua itu, dengan
langkah berat ku ayunkan kakiku menjauh dari bangku itu dan berjalan menuju
dukuh terpencil yang telah lama aku tinggalkan, sesekali aku menoleh kearah
bangku tua itu bayangannya muncul kembali dan ia tersenyum kearah ku, ku balas
senyumnya yang manis itu.
Senyum
itu seakan berkata “teruslah berjalan Ning, kau akan ada di setiap doa-doa ku,
ingat bahwa Gusti Allah selalu ada bersamamu”
“Selamat tinggal cinta,selamat
tinggal Bangku tua dengan berjuta kenangan yang indah bersamanya”
Selesai...